And I hate how much I love you boy. I can’t stand how much I need you. And I hate how much I love you so, but I just can let you go… and I hate that I love you so…
Rihanna – I hate that I love you so
Sepertinya aku mulai lelah menghadapinya. Sudah dua puluh satu bulan aku bersamanya dan memendam perasaan tertekan ini. Tekadku sudah bulat. Aku akan menyatakannya. Meskipun ini semua akan berakhir tragis seperti kisah cinta Bonnie and Clyde, dua sejoli perampok yang kisahnya diabadikan oleh generasi setelahnya. Bukanlah alasan, jika hanya karena cinta aku bertahan dengannya. Keputusan ini sudah kupikirkan dengan matang.ini bukanlah cinta, tapi hanya nafsu semata.
Di luar hujan beradu dengan petir, menyayat malam yang sunyi.
***
Tok, tok…
“Savira sayang, kamu ada di dalam?” tanya Boni sambil mengetuk pintu perlahan.
Tok, tok, tok…
“Savira, ini aku, sayang. Kamu ada di dalam?”
“Savira!! Buka pintunya! Kamu membuatku menunggu!”
Tok, tok, tok, tok, tok…!
Pintu kembali diketuk semakin keras. Namun, betapa banyak ketukan pintu, tak ada jawaban dari dalam ruangan. Berkali-kali Boni menghubungi ponsel Savira, tak ada jawaban.
Hanya terdengar dering ponsel Savira dari dalam ruangan:
I’m just the pieces of the man I used to be
Too many bitter tears are raining down on me
I’m far away from home
And I’ve been facing this alone
For much too long
I feel like no-one ever told the truth to me
About growing up and what struggle it would be
In my tangled state of mind
I’ve been looking back to find
Where I went wrong…
“Too Much Love Will Kill You – Queen”
Setelah empat puluh lima menit mengetuk pintu dan tak ada jawaban, Boni memutuskan untuk mendobrak kamar Savira.
Krakkk, Brakkk…!
Akhirnya, pintu terbuka setelah lima kali Boni mendorongnya sekuat tenaga. Seketika bau karbol yang menyengat tercium, berasal dari cairan pembersih karat dan plak untuk lantai. Boni mendesis, bau busuk menusuk hidungnya.
“Savira!!!” Matanya terbelalak kaget saat melihat kekasihnya tergeletak di lantai dengan darah masih mengalir keluar dari tangannya.
Boni bergegas mengecek napas dan detak jantung kekasihnya yang berambut panjang itu. Namun, ia tidak merasakan embusan napas maupun detak jantung. Tubuhnya terkulai lemas, air matanya mengalir deras. Dengan menggunakan tenaganya yang hampir habis, dia menelepon Rani, sahabat Savira. Boni meminta Rani untuk menghubungi rumah sakit terdekat.
“Savira sayang…,” Boni meringis sambil memeluk tubuh kekasihnya.
“Saviraaaaaaa, kamu kenapa, sayang?”
“Viraa, aku sayang banget sama kamu.”
“Vir, Viraa…,” Boni terus menangis. Kaget, kecewa, dan sedih bercampur-aduk.
Saat sedang menangisi, ia melihat sepucuk surat berpercik darah di genggaman tangan kanan Savira.
Boni terdiam sesaat. Mengambilnya, lalu membuka surat itu.
Jakarta, 24 Februari 2011
Dear Boni sayang,
Mungkin kamu kaget saat ini dengan keadaanku. Mungkin saat ini aku sudah tak bernyawa lagi. Aku tahu, kamu saat ini sedang menangis tak karuan akibat keadaanku kini. Maafkan aku, Bon. Cuma ini yang terpikirkan di otakku untuk menyelesaikan masalah-masalah kita. Maafkan aku, Bon. Aku benar-benar minta maaf.
Kamu orang yang paling kusayang di dunia. Kamulah yang menjadi alasanku meakukan segalanya, Bon. Segalanya kulakukan, bahkan yang terbodoh sekalipun. Kamu alasanku untuk terus bertahan dengan segala kesulitan kita. Kamulah cahaya dalam hatiku. Tidak pernah ada seorangpun yang hadir mengisi hatiku selama kita bersama. Aku serahkan segalanya buat kamu.
Aku tidak lagi pergi keluar bersama sahabat-sahabatku, saat kamu mengatakan bahwa kamu tidak suka dengan mereka. Kamu tahu? Rani marah sekali, bahakan menamparku saat kukatakan bahwa posisinya tergantikan olehmu. Rani menangis, begitupula aku. Lalu aku meninggalkannya sendirian. Ya, karena saat itu kamu meneleponku dan menyuruhku pulang. Kamu tidak peduli saat kukatakan bahwa Rani sedang menangis. Aku meninggalkannya untukmu.
Rani adalah satu-satunya sahabat terbaik dalam hidupku. Dia selalu ada saat aku membutuhkannya. Bahkan, ketika kita sedang bertengkar hebat. Meskipun tahu aku lebih memilihmu, dia tetap memberikan jalan terbaik agar aku berbaikan denganmu. Aku sangat menyayangi Rani, Bon. Tapi rasa sayangku padamu melebihi segalanya. Dan aku benar-benar meninggalkan perempuan yang telah bersamaku sejak kecil itu.
Aku mulai keluar dari rumah dan memutuskan tinggal di rumah kos karena kamu. Kamu masih ingat, saat kamu mengatakan bahwa akan semakin indah jika hanya ada kamu dan aku di dunia. Apalagi ketika kamu memintaku untuk indekos, tanpa pikir panjang aku setuju. Tapi, apa kamu tahu, Sayang? Mama menangis karena aku meninggalkannya sendiri di rumah. Kamu tidak suka saat mama sering meneleponku, lalu kukatakan pada Mama agar tidak meneleponku lagi. Suatu kali Mama pernah berkata padaku dengan sinis. Aku masih ingat kata-katanya. “Apa Mama yang melahirkanmu ini sudah terhapus dari hidupmu sejak kamu bertemu kekasihmu itu?”
Lagi-lagi aku hanya bisa menangis dan membiarka semuanya terjadi. Aku meninggalkan Mama sendirian di rumah, padahal aku tahu keadaannya sekarang sangat rentan dengan penyait diabetes yang menggerogotinya. Dan ya, aku meninggalkan Mama untuk kamu. Rasa cintaku padamu melebihi apa pun di dunia ini, dan kuabdikan diri hanya untuk kamu. Meskipun aku hanya bisa menangis di malam hari menyesali keputusanku.
Aku berhenti kuliah, juga karena kamu. Kamu ingat tidak saat kamu bilang aku hanya peduli dengan kuliahku? Aku mulai membolos hari demi hari untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu. Aku ingin membuktikan bahwa kamu adalah prioritas dalam hidupku. Beberapa kali Bu Dian menghubungiku dan membujukku untuk masuk kuliah. Dia ingin menjadikanku asistennya saat aku lulus nanti. Tapi aku menolaknya karena rasa cintaku padamu.
Almarhum ayah pasti sangat kecewa melihat keadaanku saat ini. Beliay adalah idolaku sewaktu aku kecil. Aku ingin menjadi profesor sepertinya. Mengajar di universitas-universitas terkemuka, menemukan teori baru di bidang antropologi. Dia selalu menyemangatiku untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya agar tercapai semua yang kucita-citakan. Tapi, aku meninggalkan semuanya karena cinta. Tak peduli seberapa banyak tawaran beasiswa untuk ke luar negeri datang padaku, aku menolaknya. Itu semua karena aku tidak ingin berpisah darimu.
Aku mulai memakai shabu saat kamu mengatakan bahwa barang itu bisa membuat kita bahagia. Bukannya aku tidak pernah belajar mengenai apa itu NAPZA, namun saat itu kamu memaksaku untuk mencobanya. Aku tidak bisa menolak, karena… kamu pasti tahu jawabannya, kan? Karena CINTA!
Hari demi hari, aku semakin mnyukai bubuk imajinatif itu. Apa kamu masih ingat saat pertamakali kamu memaksaku berhubungan badan? Aku tidak terlalu sadar karena berada di bawah pengaruh obat itu. Tapi kurasakan kesakitan yang sangat mendalam saat aku menyadarinya. Di hari berikutnya dan seterusnya, kamu memaksaku untuk melayani nafsumu. Aku tidak merasakan apa-apa, karena berada di bawah pengaruh obat itu. Semua terasa begitu samar dan remang.
Pernah suatu hari kita kehabisan uang. Kamu menyuruhku untuk meminta shabu ke Bang Doni―pengedar yang juga sahabat karibmu. Kamu tidak mengatakan apa yang bisa di tukar dengan barang itu. Kamu hanya mengatakan kalau aku yang datang, ia pasti memberikannya. Saat aku ke rumahnya dan dia tahu bahwa aku tidak punya uang, ia menyuruhku untuk berhubungan badan dengannya. Awalnya, aku takut. Tapi, karena aku tidak ingin mengecewakanmu dan sedang sakaw berat, aku melakukannya juga!
Kejadian itu tidak hanya sekali, Bon. Bahkan, aku tidak bisa menghitung berapa kali aku berhubungan badan dengan bandar-bandar narkoba agar kita bisa menggunakan shabu bersama. Aku ingin berteriak padamu sekencang-kencangnya, bahwa aku benci dengan rasa cintaku padamu. Tidakkah kamu tahu, aku selalu menangis setelah pulang dari rumah bandar narkoba? Aku hanya mengatakan, aku alergi debu agar kamu tidak tahu.
Hatiku semakin sakit saat pulang ke kos dan melihatmu tidur bersama Nina. Aku hanya bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Aku tidak ingin kamu meninggalkanku, karena aku tidak punya siapa-siapa lagi. Aku tidak ingin bertengkar. Seberapa pun sakitnya, hatiku melihatmu berkali-kali tidur dengan perempuan lain, aku berusaha terus bertahan.
Aku sadar, aku menjadi sangat bodoh. Dengan keadaanku yang seperti ini, aku tidak yakin masih ada orang yang mau menerimaku lagi. Aku kehilangan sahabat, keluarga, dan cita-cita. Sebisa mungkin aku bertahan untukmu, Sayang. Cinta mengalahkan logika berpikirku. Semua kuberikan kepadamu, semua kulakukan untukmu.
Kesadaranku mulai muncul pada detik-detik saat aku mendengar pembicaraanmu dengan Om Leo. Aku tahu rencanamu, Bon. Kamu ingin menjadikanku sebagai salah satu wanita panggilan di rumah bordir Om Leo. Hatiku hancur. Aku marah. Dadaku sesak. Apa salahku padamu, Sayang? Mengapa kamu tega melakukan ini padaku padahal sudah kuberikan semuanya untukmu? Mengapa kamu masih selalu merasa kurang?
Aku sayang kamu, tapi membenci perasaan cintaku yang begitu dalam ini. Tidakkah kamu tahu, aku haus kasih sayangmu yang dulu. Kasih sayang saat kamu belum memakai shabu, obat sialan yang telah mengubah dirimu. Dan, kamu telah mengubahku! Rasa adiksiku akan dirimu membuatku tidak bisa berpikir jernih. Sekarang izinkanlah aku melakukan yang kumau. Aku juga ingin mencurahkan rasa sayangku padamu dengan caraku.
Aku sudah menghubungi polisi. Mungkin sekarang mereka ada di depan pintu, karena aku menyarankan agar mereka menyamar. Kamu lihat tukang sayur yang ada di depan pintu? Dia adalah salah satu polisi yang sedang menyamar. Aku menyuruhnya menunggu sekitar satu jam lebih dua puluh menit. Itu adalah perkiraan waktuku sampai kamu menemukan surat ini dan tubuhku yang sudah tak bernyawa.
Sekarang, kamu tidak bisa pergi lagi. Aku hanya ingin kamu sadar dengan segala perbuatan burukmu selama ini. Bagaimana rasanya kamu akan masuk penjara? Tidak akan ada lagi budak cintamu, karena aku sudah tiada.
Sebelum bunuh diri, aku berkali-kali memutar lagu Queen yang berjudul “Too Much Love Will Kill You”. Lagu itu persis menggambarkan keadaanku. Terlalu banyak cinta yang adiktif, akhirnya hal itu membunuh kita. Senajata makan tuan.
Ah, aku berharap, seandainya aku mendapatkan lau itu sebelum bertemu denganmu… pagi ini aku berandai-andai tentang masa depanku tanpamu. Mungkin saat ini aku sudah menjadi sarjana dan melanjutkan s2 Antropologi di Universitas California. Lalu disana aku bertemu dengan sahabat ayahku, Profesor Boellstorff yang cerdas, dan berbincang dengannya berbagai hal tentang antropologi.
Tak lupa, aku berandai-andai, jika saja aku tidak meninggalkan Jefry, saat ia sedang menjalani pertukaran pelajar di Prancis, hanya karena ketololanku termakan bujuk rayu mulut buayamu…
Mungkin saat ini kami bertunangan. Mungkin saat ini aku dan dia melanjutkan s2 di universitas yang sama. Mungkin saat ini aku sedang bersamanya, bersenandung lagu-lagu Beatles bersama untuk melepas penat-penat. Dia suka sekali menyuruhku agar mengajak Rani dan Mama untuk berkaraoke bersama. Dia bilang, mereka berdua adalah orang yang harus kujaga dan kuhargai kehadirannya.
Aku baru sadar, cintaku sebenarnya untuk Jefry. Dia mampu memberiku ketenangan jiwa dan membuatku menjadi lebih baik lagi. Itu adalah cinta. Dia bisa membuatku menjadi diri sendiri tanpa tekanan. Kusadari kini, obsesiku untuk menaklukanmu begitu besar hingga aku gelap mata. Tidak bisa lagi membedakan mana cinta dan mana nafsu. Kamu hanyalah nafsuku yang begitu besar yang telah mengalahkan dan menghancurkan segalanya.
Bahkan, kamu menghabisi hidupku hingga tak bersisa. Sekalipun tetap hidup, aku hanyalah zombie korban cinta yang haus darah segar. Haus napas kehidupan yang bebas, yang tak akan dapat kuperoleh darimu.
Salam Kematian,
Savira
Saat Boni membaca surat itu, hujan belum sepenuhnya berhenti. Langit turut berduka. Sepersekian detik setelah membaca surat itu, sepasang tangan kurusnya telah berbelit besi borgol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar